Kerajaan Langkat

Kerajaan Langkat

Kerajaan Langkat merupakan salah satu dari beberapa kerajaan melayu yang ada di wilayah pesisir timur pulau Sumatera. Kerajaan ini hadir dengan corak keislaman yang kuat, karena tercermin dalam budaya masyarakat dan peninggalan-peninggalan seni arsitektur Islam seperti masjid, madrasah, dan lain sebagainya. Munculnya kerajaan melayu yang bercorakkan Islam ini, paling tidak membawa
pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan dan kebudayaan Islam khususnya di daerah Langkat.

Awal kelahiran dan Perkembangannya

Wilayah kabupaten Langkat yang dikenal sekarang ini sebelumnya adalah sebuah kerajaan. Wilayahnya terbentang antara aliran sungai Seruwai atau daerah Tamiang (sekarang menjadi wilayah Aceh Timur) sampai ke aliran anak sungai Wampu. Terdapat sebuah sungai lainnya diantara kedua sungai ini, yaitu sungai Batang Serangan yang merupakan jalur pusat kegiatan nelayan dan perdagangan penduduk setempat dengan luar negeri terutama ke Penang atau Malaysia. Sungai Batang Serangan ketika bertemu dengan sungai Wampu, namanya menjadi sungai Langkat. sehingga dapat dikatakan, wilayah kerajaan Langkat lahir dan berkembang di sekitar kawasan sungai-sungai di daerah Langkat yang meliputi kawasan Tamiang sampai ke Binjai dan wilayah Bahorok.
Nama kerajaan Langkat diambil dari nama sebuah pohon yakni pohon langkat. Pohon ini dulunya banyak tumbuh di sekitar pinggiran sungai Langkat tersebut. Jenis pohon ini sekarang sudah langka dan hanya terdapat di hutan-hutan pedalaman daerah Langkat. Pohon langkat ini menyerupai pohon langsat, tetapi rasanya pahit dan kelat. Oleh karena pusat kerajaan Langkat berada di sekitar sungai Langkat, maka kerajaan ini akhirnya populer dengan nama kerajaan Langkat.
Silsilah kesultanan Langkat menyatakan bahwa nama leluhur kerajaan Langkat yang terjauh diketahui adalah Dewa Sahdan. Sampai saat ini asal usulnya masih menjadi sesuatu yang bervariasi. Satu pendapat mengatakan, ia lahir di tengah hutan belantara dan dibesarkan di Kuta Buluh (dekat kaki gunung Sibayak) Kira-kira hidup pada tahun 1500 sampai 1580 masehi. Versi yang lain menyebutkan bahwa Dewa Sahdan adalah putra kerajaan Haru yang dibungkus oleh istri raja, lalu diletakkan di bawah pohon buluh (bambu) di kerajaan Kutabuluh. Ada juga yang menyebutnya sebagai saudara dari Putri Hijau, yang kemudian mendirikan kerajaan Aru pertama di Besitang.
Pendiri kerajaan Langkat yang dikenal adalah Raja Kahar pada pertengahan abad ke-18. Raja Kahar lahir tahun 1673-1750. Penjelasan T. Lukman Sinar, bahwa Raja Kahar ketika mendirikan Kerajaan Langkat di Kota Dalam (kecamatan Hinai), usianya sudah cukup tua kira-kira 77 tahun. Jadi, Raja Kahar diperkirakan hanya sebentar saja memerintah Langkat. Sejak itu, nama Langkat sebagai sebuah kerajaan mulai terdengar walaupun daerah kekuasaannya masih belum begitu luas dan pusat kerajaan masih berpindah-pindah. Baru setelah sultan Musa berkuasa maka pusat kerajaan resmi berada di kota Tanjung Pura, ia secara damai meluaskan wilayahnya, sehingga wilayah kekuasaan Langkat bertambah luas mulai dari perbatasan Aceh Tamiang sampai di kawasan Binjai dan Bahorok. Berkaitan dengan data-data yang di dapatkan bahwa makalah ini akan lebih berfokus pada pemerintahan sultan Musa di Tanjung Pura, yang diteruskan oleh sultan Abdul Azis dan sultan Mahmud hingga berakhirnya kekuasaan kerajaan Langkat pada tahun 1946.
Adapun Silsilah Kerajaan Langkat adalah: Dewa Sahdan lahir tahun 1500-1580 di Kuta Buluh, Dewa Sakti lahir tahun 1580-1612 dan Wafat pada perang Aceh, Raja Abdullah atau Marhum Guri lahir tahun 1612-1673, Raja Kahar lahir tahun 1673-1750 berkuasa di kota Dalam Secanggang, Badiulzaman bekuasa tahun 1750-1814, Kejeruan Tuah Hitam berkuasa tahun 1814-1823, Raja Ahmad berkuasa tahun 1824-1870, Sultan Musa berkuasa tahun 1870-1896 di Tanjung Pura, Sultan Abdul Aziz berkuasa tahun 1896-1926 di Tanjung Pura, Sultan Mahmud berkuasa tahun 1926-1946 di Binjai.

Dinamika Keagamaan

Masyarakat melayu Langkat sebelum adanya kerajaan Langkat diketahui sudah beragama Islam, khususnya di wilayah pesisir. hal ini dikarenakan wilayah Langkat yang berbatasan dengan daerah Aceh, membawa dampak bagi perkembangan agama Islam.
Kerajaan Langkat terutama setelah berpusat di Tanjung Pura, menjadikan agama Islam sebagai pedoman dan legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan sultan dan kerajaan secara umum. Masyarakat yang mayoritas beragama Islam dalam berbagai dinamika kehidupannya telah mencerminkan perilaku keislaman yang kuat, walaupun di sana-sini masih terdapat kepercayaan-kepercayaan peninggalan Hindu, Animisme dan lain sebagainya. Dalam hal ini, ibadah-ibadah praktis selalu dapat ditemukan dalam dinamika masyarakat Langkat, seperti shalat berjamaah, mengaji di langgar, dan pengajian-pengajian agama yang banyak bertemakan aqidah dan tasawuf.
Selanjutnya untuk mendukung hal tersebut, maka sultan-sultan Langkat membangun fasilitas-fasilitas peribadatan, masjid-masjid yang megah dan indah bentuknya seperti masjid Azizi di Tanjung Pura, masjid Raya Stabat dan Binjai serta beberapa madrasah yang dibangun untuk pendidikan rohani rakyat. Mengenai gaji-gaji guru dan pegawai (nazir) masjid, demikian juga untuk pemeliharaan gedung-gedung tersebut semuanya ditanggung oleh pihak kerajaan.
Berkaitan dengan hari-hari besar Islam, seperti pada bulan Ramadhan, maka kesultanan Langkat memberikan bantuan-bantuan ke masjid-masjid berupa makanan-makanan dan minuman bagi masyarakat yang melaksanakan shalat tarawih, witir dan tadarus serta memberikan bantuan berupa sedekah kepada masyarakat-masyarakat yang kurang mampu ketika menjelang Idul Fitri hal ini menjadikan masyarakat selalu menaruh simpati kepada para sultan, karena pihak kerajaan begitu aktif dalam memberikan bantuan-bantuan yang bersifat keagamaan.
Dalam penerapan syariat Islam, kesultanan Langkat memiliki guru-guru agama yang sekaligus dijadikan sebagai penasihat sultan untuk dimintai pendapatnya berkaitan dengan permasalahan hukum Islam. Dalam sistem kehidupan masyarakat melayu, seluruh warganya terikat dengan adat Resam melayu. Adat ini sebagian besar dipengaruhi oleh agama Islam. Maksudnya, kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan yang diajarkan atau yang diatur dalam agama Islam berangsur-angsur akan dihilangkan. Jadi adat resam melayu adalah adat dan kebiasaan masyarakat melayu yang telah diislamisasi. Di sini, peran guru-guru agama cukup besar dalam menginternalisasi nilai-nilai Islam kedalam masyarakat Langkat.
Dinamika keagamaan yang begitu kuat, dapat dilihat dengan keberadaan Babussalam sebagai pusat kegiatan Tarekat Naqsabandiyah. Dengan berdirinya Babussalam, maka kegiatan keagamaan yang bercirikan tarekat mulai berkembang di kerajaan Langkat, pengaruh yang kuat bagi perkembangan Tarekat Naqsabandiyah, adalah turut sertanya sultan Langkat dalam kegiatan tarekat tersebut, beserta beberapa pembesar kerajaan, sehingga masyarakat yang memiliki simpati terhadap sultan, ikut serta dalam kegiatan tersebut, di samping dengan nama besar syekh Abdul Wahab, sebagai ulama terpandang membuat masyarakat Langkat, maupun yang berada di luar kawasan Langkat seperti dari daerah Batu bara, Tapanuli, Riau dan beberapa daerah lain berdatangan untuk mengaji dan bersuluk. Beberapa dari mereka akhirnya menetap di daerah Langkat.

Dinamika Sosial dan Budaya

Di masa kesultanan Langkat, dalam masyarakat dikenal pelapisan masyarakat atau kelas-kelas sosial yang membedakan keturunan bangsawan dan rakyat biasa. Golongan bangsawan adalah keturunan raja-raja yang dikenali dengan gelar-gelar tertentu, seperti tengku, sultan dan datuk. Dalam hal ini peninggalan hinduisme masih melekat pada masyarakat. Bahkan sisa-sisa pelapisan sosial lama masih nampak dalam masyarakat melayu saat ini. Misalnya masih ditemukan sekelompok orang yang berasal dari keturunan sultan-sultan dulu, mereka biasanya dipanggil dengan gelar Tengku. Lalu, bekas pegawai kesultanan dengan keturunannya biasanya dipanggil dengan gelar Datuk. Sedangkan keturunan tengku dan datuk kebanyakan dipanggil dengan gelar Wan.
Dengan adanya pelapisan sosial pada masyarakat, maka keturunan raja dan aristokrat di Langkat mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk hidup makmur dibandingkan dengan rakyat biasa. Mereka masing-masing diberi jabatan dan diberi kekuasaan untuk mengatur atau mengelola kejeruan-kejeruan (kecamatan) di daerah Langkat. Pembagian kekuasaan dan hasil daerah membuat golongan bangsawan Langkat dapat hidup berkecukupan dalam bidang materi. Ini berbeda dengan golongan rakyat biasa yang harus membayar pajak (upeti/blasting) dari hasil pertanian dan perkebunannya kepada kesultanan. Namun ada dari rakyat biasa yang dapat hidup mewah dan berkecukupan dan biasanya mereka adalah tuan-tuan tanah atau orang-orang kepercayaan sultan.
Dalam bidang kebudayaan, sebagaimana yang telah disinggung diatas bahwa mayoritas masyarakat Langkat sudah beragama Islam dan ajaran-ajaran Islam tersebut terlihat jelas dalam kebudayaan dan adat istiadat masyarakat melayu Langkat. Misalnya dalam membicarakan suatu permasalahan dalam sebuah kampung, biasanya akan dimusyawarahkan di masjid. Begitu juga dengan acara-acara lainnya seperti acara turun ke sawah, kerja bakti, ataupun menyelesaikan suatu perselisihan maka sebelumnya telah ada kesepakatan antara warga setempat. Musyawarah tersebut biasanya akan dihadiri oleh Penghulu (kepala kampung), Pengetua adat dan Imam Masjid.
Sebagian dari adat-adat Melayu tersebut juga diatur oleh pihak kesultanan, diantaranya mengaji al-Qur’an, tepian mandi, syair dan hikayat, hiburan dan kesenian, pakaian dalam pergaulan, mengirik padi, mendirikan rumah dan lain sebagainya. Misalnya dalam mengaji al-Qur’an, setiap orang tua yang mempunyai anak wajib mengajari anaknya membaca Qur’an sampai tamat (khatam). Jika orang tua mempunyai anak batas usia masuk mengaji, harus membawa anaknya kepada seorang guru mengaji sambil membawa pulut setalam, beras secupak, minyak lampu sebotol dan sepotong rotan. Begitu juga dengan urusan mandi dan mencuci di sungai yang disebut tepian mandi. Peraturan yang berlaku adalah bahwa para wanita mandi di daerah hulu, sedangkan pihak laki-laki mandi di daerah hilir, hal ini diatur agar kaum wanita khususnya para gadis tidak bertemu dengan pihak laki-laki ketika hendak mandi. dan lain sebagainya.

Dinamika Ekonomi

Kerajaan Langkat termasuk kepada kerajaan yang makmur, ini terlihat dari bangunan-bangunan yang didirikan pada masa kerajaan ini seperti istana-istana yang megah, lembaga pendidikan dan masjid yang berdiri dengan indah dan kokoh. Menurut Laporan John Anderson selaku wakil pemerintahan Inggris di Penang bahwa pada tahun 1823 kerajaan Langkat merupakan sebuah kerajaan yang kaya. Ekspor ladanya bermutu sangat baik, mencapai 20.000 pikul dalam setahun. Hasil-hasil lainnya dari Langkat seperti rotan, lilin, buah-buahan hutan, gambir, emas (dari Bahorok), gading, tembakau dan beras.
Sumber penghasilan kesultanan Langkat, terutama berasal dari hasil pertanian, pajak perkebunan asing (Deli Maatschappij yang sekarang menjadi PTPN), perdagangan dan hasil pertambangan minyak bernama “De Koniklijke” (Koniklijke Nederlandsche Maatschappij Tot Exploitatie Petroleumbronnen In Nederlandsche-Indie) atau juga dikenal dengan nama BPM (Bapapte Petroleum Maatschappij) sehingga kesultanan Langkat terkenal sebagai kerajaan yang kaya. Kekayaan kerajaan turut dinikmati oleh rakyatnya, ini dibuktikan bahwa setiap tahun sultan mengeluarkan zakat atau sedekah dengan mengumpulkan seluruh rakyat di masjid atau istana pada malam 27 Ramadhan. Kepada mereka diberikan uang sebesar f 2,50 per-orang. Ketika itu jumlah ini cukup untuk membeli beras sebanyak 50 kati  serta memberikan bantuan-bantuan lainnya seperti minyak lampu yang digunakan untuk penerangan di bulan Ramadhan.

Dinamika intelektual

Berdasarkan data yang didapatkan bahwa sebelum tahun 1900, kerajaan Langkat belum memiliki lembaga pendidikan formal. Pendidikan yang dilaksanakan masih dengan pendidikan non formal, yaitu dengan belajar kepada guru-guru agama ataupun ahli-ahli dalam bidang tertentu. Bagi keluarga kerajaan juga diberikan pendidikan yang seperti ini. Para guru-guru itu diundang ke istana untuk memberikan ceramah dan pengajaran kepada raja beserta keluarganya. Ketika itu dinamika intelektual khususnya dalam bidang pendidikan belum menjadi fokus perhatian para sultan. Nampaknya mereka masih sibuk dengan masalah politik yang terjadi, yaitu berkaitan dengan perluasan wilayah kekuasaan dan lain sebagainya. Hal tersebut menjadikan dinamika intelektual di Langkat tidak berkembang dengan baik dan kurang mendapat perhatian. Baru, setelah sultan Abdul Aziz menjadi sultan Langkat, lembaga pendidikan formal yang dinamakan maktab (baca: madrasah) dapat berdiri dan menjadi pusat pendidikan agama bagi masyarakat Langkat.

Dinamika Politik

Berkaitan dengan masalah politik, kerajaan Langkat tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya. Ada dua kerajaan besar yang selalu disebut-sebut dalam sejarah kerajaan Langkat yaitu kerajaan Aceh dan kerajaan Siak. Selain itu, tidak dapat dikesampingkan juga mengenai pemerintahan kolonial Belanda yang pada akhirnya berhasil menguasai kerajaan-kerajaan Melayu yang ada di sepanjang pesisir timur pulau Sumatera, termasuk kerajaan Langkat pada pertengahan abad ke-19. Akhirnya menjelang tahun kemerdekaan repoblik Indonesia, penjajahan Jepang juga berhasil menguasai kerajaan Langkat, hingga pada tahun 1946 terjadi revolusi sosial di Sumatera Timur yang menjadi akhir masa pemerintahan kerajaan Langkat dan digantikan menjadi wilayah kabupaten 

Komentar

Postingan populer dari blog ini