Kerajaan Langkat
Kerajaan Langkat
Kerajaan Langkat
merupakan salah satu dari beberapa kerajaan melayu yang ada di wilayah pesisir
timur pulau Sumatera. Kerajaan ini hadir dengan corak keislaman yang kuat,
karena tercermin dalam budaya masyarakat dan peninggalan-peninggalan seni
arsitektur Islam seperti masjid, madrasah, dan lain sebagainya. Munculnya
kerajaan melayu yang bercorakkan Islam ini, paling tidak membawa
pengaruh yang
signifikan terhadap perkembangan dan kebudayaan Islam khususnya di daerah Langkat.Awal kelahiran dan Perkembangannya
Nama kerajaan
Langkat diambil dari nama sebuah pohon yakni pohon langkat. Pohon ini dulunya
banyak tumbuh di sekitar pinggiran sungai Langkat tersebut. Jenis pohon ini
sekarang sudah langka dan hanya terdapat di hutan-hutan pedalaman daerah Langkat.
Pohon langkat ini menyerupai pohon langsat, tetapi rasanya pahit dan kelat.
Oleh karena pusat kerajaan Langkat berada di sekitar sungai Langkat, maka
kerajaan ini akhirnya populer dengan nama kerajaan Langkat.
Silsilah kesultanan
Langkat menyatakan bahwa nama leluhur kerajaan Langkat yang terjauh diketahui
adalah Dewa Sahdan. Sampai saat ini asal usulnya masih menjadi sesuatu yang
bervariasi. Satu pendapat mengatakan, ia lahir di tengah hutan belantara dan
dibesarkan di Kuta Buluh (dekat kaki gunung Sibayak) Kira-kira hidup pada tahun
1500 sampai 1580 masehi. Versi yang lain menyebutkan bahwa Dewa Sahdan adalah
putra kerajaan Haru yang dibungkus oleh istri raja, lalu diletakkan di bawah
pohon buluh (bambu) di kerajaan Kutabuluh. Ada juga yang menyebutnya
sebagai saudara dari Putri Hijau, yang kemudian mendirikan kerajaan Aru pertama
di Besitang.
Pendiri kerajaan
Langkat yang dikenal adalah Raja Kahar pada pertengahan abad ke-18. Raja Kahar
lahir tahun 1673-1750. Penjelasan T. Lukman Sinar, bahwa Raja Kahar ketika
mendirikan Kerajaan Langkat di Kota Dalam (kecamatan Hinai), usianya sudah
cukup tua kira-kira 77 tahun. Jadi, Raja Kahar diperkirakan hanya sebentar saja
memerintah Langkat. Sejak itu, nama Langkat sebagai sebuah kerajaan mulai
terdengar walaupun daerah kekuasaannya masih belum begitu luas dan pusat
kerajaan masih berpindah-pindah. Baru setelah sultan Musa berkuasa maka pusat
kerajaan resmi berada di kota Tanjung Pura, ia secara damai meluaskan
wilayahnya, sehingga wilayah kekuasaan Langkat bertambah luas mulai dari
perbatasan Aceh Tamiang sampai di kawasan Binjai dan Bahorok. Berkaitan dengan
data-data yang di dapatkan bahwa makalah ini akan lebih berfokus pada
pemerintahan sultan Musa di Tanjung Pura, yang diteruskan oleh sultan Abdul
Azis dan sultan Mahmud hingga berakhirnya kekuasaan kerajaan Langkat pada tahun
1946.
Adapun Silsilah
Kerajaan Langkat adalah: Dewa Sahdan lahir tahun 1500-1580 di Kuta Buluh, Dewa
Sakti lahir tahun 1580-1612 dan Wafat pada perang Aceh, Raja Abdullah atau
Marhum Guri lahir tahun 1612-1673, Raja Kahar lahir tahun 1673-1750 berkuasa di
kota Dalam Secanggang, Badiulzaman bekuasa tahun 1750-1814, Kejeruan Tuah Hitam
berkuasa tahun 1814-1823, Raja Ahmad berkuasa tahun 1824-1870, Sultan Musa
berkuasa tahun 1870-1896 di Tanjung Pura, Sultan Abdul Aziz berkuasa tahun
1896-1926 di Tanjung Pura, Sultan Mahmud berkuasa tahun 1926-1946 di Binjai.
Dinamika Keagamaan
Masyarakat melayu
Langkat sebelum adanya kerajaan Langkat diketahui sudah beragama Islam,
khususnya di wilayah pesisir. hal ini dikarenakan wilayah Langkat yang
berbatasan dengan daerah Aceh, membawa dampak bagi perkembangan agama Islam.
Kerajaan Langkat
terutama setelah berpusat di Tanjung Pura, menjadikan agama Islam sebagai
pedoman dan legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan sultan dan kerajaan secara
umum. Masyarakat yang mayoritas beragama Islam dalam berbagai dinamika
kehidupannya telah mencerminkan perilaku keislaman yang kuat, walaupun di
sana-sini masih terdapat kepercayaan-kepercayaan peninggalan Hindu, Animisme
dan lain sebagainya. Dalam hal ini, ibadah-ibadah praktis selalu dapat
ditemukan dalam dinamika masyarakat Langkat, seperti shalat berjamaah, mengaji
di langgar, dan pengajian-pengajian agama yang banyak bertemakan aqidah dan
tasawuf.
Selanjutnya untuk mendukung
hal tersebut, maka sultan-sultan Langkat membangun fasilitas-fasilitas
peribadatan, masjid-masjid yang megah dan indah bentuknya seperti masjid Azizi
di Tanjung Pura, masjid Raya Stabat dan Binjai serta beberapa madrasah yang
dibangun untuk pendidikan rohani rakyat. Mengenai gaji-gaji guru dan pegawai
(nazir) masjid, demikian juga untuk pemeliharaan gedung-gedung tersebut
semuanya ditanggung oleh pihak kerajaan.
Berkaitan dengan
hari-hari besar Islam, seperti pada bulan Ramadhan, maka kesultanan Langkat
memberikan bantuan-bantuan ke masjid-masjid berupa makanan-makanan dan minuman
bagi masyarakat yang melaksanakan shalat tarawih, witir dan tadarus serta
memberikan bantuan berupa sedekah kepada masyarakat-masyarakat yang kurang mampu
ketika menjelang Idul Fitri hal ini menjadikan masyarakat selalu menaruh
simpati kepada para sultan, karena pihak kerajaan begitu aktif dalam memberikan
bantuan-bantuan yang bersifat keagamaan.
Dinamika keagamaan
yang begitu kuat, dapat dilihat dengan keberadaan Babussalam sebagai pusat
kegiatan Tarekat Naqsabandiyah. Dengan berdirinya Babussalam, maka kegiatan
keagamaan yang bercirikan tarekat mulai berkembang di kerajaan Langkat,
pengaruh yang kuat bagi perkembangan Tarekat Naqsabandiyah, adalah turut
sertanya sultan Langkat dalam kegiatan tarekat tersebut, beserta beberapa
pembesar kerajaan, sehingga masyarakat yang memiliki simpati terhadap sultan,
ikut serta dalam kegiatan tersebut, di samping dengan nama besar syekh Abdul
Wahab, sebagai ulama terpandang membuat masyarakat Langkat, maupun yang berada
di luar kawasan Langkat seperti dari daerah Batu bara, Tapanuli, Riau dan
beberapa daerah lain berdatangan untuk mengaji dan bersuluk. Beberapa dari
mereka akhirnya menetap di daerah Langkat.
Dinamika Sosial dan Budaya
Di masa kesultanan
Langkat, dalam masyarakat dikenal pelapisan masyarakat atau kelas-kelas sosial
yang membedakan keturunan bangsawan dan rakyat biasa. Golongan bangsawan adalah
keturunan raja-raja yang dikenali dengan gelar-gelar tertentu, seperti tengku,
sultan dan datuk. Dalam hal ini peninggalan hinduisme masih melekat pada masyarakat.
Bahkan sisa-sisa pelapisan sosial lama masih nampak dalam masyarakat melayu
saat ini. Misalnya masih ditemukan sekelompok orang yang berasal dari keturunan
sultan-sultan dulu, mereka biasanya dipanggil dengan gelar Tengku. Lalu, bekas
pegawai kesultanan dengan keturunannya biasanya dipanggil dengan gelar Datuk.
Sedangkan keturunan tengku dan datuk kebanyakan dipanggil dengan gelar Wan.
Dengan adanya
pelapisan sosial pada masyarakat, maka keturunan raja dan aristokrat di Langkat
mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk hidup makmur dibandingkan dengan
rakyat biasa. Mereka masing-masing diberi jabatan dan diberi kekuasaan untuk
mengatur atau mengelola kejeruan-kejeruan (kecamatan) di daerah Langkat.
Pembagian kekuasaan dan hasil daerah membuat golongan bangsawan Langkat dapat
hidup berkecukupan dalam bidang materi. Ini berbeda dengan golongan rakyat
biasa yang harus membayar pajak (upeti/blasting) dari hasil pertanian dan
perkebunannya kepada kesultanan. Namun ada dari rakyat biasa yang dapat hidup
mewah dan berkecukupan dan biasanya mereka adalah tuan-tuan tanah atau
orang-orang kepercayaan sultan.
Dalam bidang
kebudayaan, sebagaimana yang telah disinggung diatas bahwa mayoritas masyarakat
Langkat sudah beragama Islam dan ajaran-ajaran Islam tersebut terlihat jelas
dalam kebudayaan dan adat istiadat masyarakat melayu Langkat. Misalnya dalam
membicarakan suatu permasalahan dalam sebuah kampung, biasanya akan
dimusyawarahkan di masjid. Begitu juga dengan acara-acara lainnya seperti acara
turun ke sawah, kerja bakti, ataupun menyelesaikan suatu perselisihan maka
sebelumnya telah ada kesepakatan antara warga setempat. Musyawarah tersebut
biasanya akan dihadiri oleh Penghulu (kepala kampung), Pengetua adat dan Imam
Masjid.
Sebagian dari
adat-adat Melayu tersebut juga diatur oleh pihak kesultanan, diantaranya
mengaji al-Qur’an, tepian mandi, syair dan hikayat, hiburan dan kesenian,
pakaian dalam pergaulan, mengirik padi, mendirikan rumah dan lain sebagainya.
Misalnya dalam mengaji al-Qur’an, setiap orang tua yang mempunyai anak wajib
mengajari anaknya membaca Qur’an sampai tamat (khatam). Jika orang tua
mempunyai anak batas usia masuk mengaji, harus membawa anaknya kepada seorang
guru mengaji sambil membawa pulut setalam, beras secupak, minyak lampu sebotol
dan sepotong rotan. Begitu juga dengan urusan mandi dan mencuci di sungai yang
disebut tepian mandi. Peraturan yang berlaku adalah bahwa para wanita mandi di
daerah hulu, sedangkan pihak laki-laki mandi di daerah hilir, hal ini diatur
agar kaum wanita khususnya para gadis tidak bertemu dengan pihak laki-laki
ketika hendak mandi. dan lain sebagainya.
Dinamika Ekonomi
Kerajaan Langkat
termasuk kepada kerajaan yang makmur, ini terlihat dari bangunan-bangunan yang
didirikan pada masa kerajaan ini seperti istana-istana yang megah, lembaga
pendidikan dan masjid yang berdiri dengan indah dan kokoh. Menurut Laporan John
Anderson selaku wakil pemerintahan Inggris di Penang bahwa pada tahun 1823
kerajaan Langkat merupakan sebuah kerajaan yang kaya. Ekspor ladanya bermutu sangat
baik, mencapai 20.000 pikul dalam setahun. Hasil-hasil lainnya dari Langkat
seperti rotan, lilin, buah-buahan hutan, gambir, emas (dari Bahorok), gading,
tembakau dan beras.
Sumber penghasilan
kesultanan Langkat, terutama berasal dari hasil pertanian, pajak perkebunan
asing (Deli Maatschappij yang sekarang menjadi PTPN), perdagangan dan hasil
pertambangan minyak bernama “De Koniklijke” (Koniklijke Nederlandsche
Maatschappij Tot Exploitatie Petroleumbronnen In Nederlandsche-Indie) atau juga
dikenal dengan nama BPM (Bapapte Petroleum Maatschappij) sehingga kesultanan
Langkat terkenal sebagai kerajaan yang kaya. Kekayaan kerajaan turut dinikmati
oleh rakyatnya, ini dibuktikan bahwa setiap tahun sultan mengeluarkan zakat
atau sedekah dengan mengumpulkan seluruh rakyat di masjid atau istana pada
malam 27 Ramadhan. Kepada mereka diberikan uang sebesar f 2,50 per-orang.
Ketika itu jumlah ini cukup untuk membeli beras sebanyak 50 kati serta memberikan bantuan-bantuan lainnya
seperti minyak lampu yang digunakan untuk penerangan di bulan Ramadhan.
Dinamika intelektual
Berdasarkan data
yang didapatkan bahwa sebelum tahun 1900, kerajaan Langkat belum memiliki
lembaga pendidikan formal. Pendidikan yang dilaksanakan masih dengan pendidikan
non formal, yaitu dengan belajar kepada guru-guru agama ataupun ahli-ahli dalam
bidang tertentu. Bagi keluarga kerajaan juga diberikan pendidikan yang seperti
ini. Para guru-guru itu diundang ke istana untuk memberikan ceramah dan
pengajaran kepada raja beserta keluarganya. Ketika itu dinamika intelektual
khususnya dalam bidang pendidikan belum menjadi fokus perhatian para sultan.
Nampaknya mereka masih sibuk dengan masalah politik yang terjadi, yaitu
berkaitan dengan perluasan wilayah kekuasaan dan lain sebagainya. Hal tersebut
menjadikan dinamika intelektual di Langkat tidak berkembang dengan baik dan
kurang mendapat perhatian. Baru, setelah sultan Abdul Aziz menjadi sultan
Langkat, lembaga pendidikan formal yang dinamakan maktab (baca: madrasah) dapat
berdiri dan menjadi pusat pendidikan agama bagi masyarakat Langkat.
Komentar
Posting Komentar